alangkah ngerinya menatap merah senja
dengan syaitan-syaitan menjadi pelakon di langit
menuding kuku tajam ke segenap penjuru alam
menjaja waktu dengan fitnah dan palsu
gemunungku adalah
raksaksa yang bertapa
mengeram butiran dendam ke malam
tak siapa peduli
serbuk azan menjadi debu hitam
bertaburan di jalanan tak siapa kasihan
lautku mengalir darah
menghempas senja merah
ke batu basah
tak siapa peduli
senja menikam beburung kebebasan
meninggalkan anak menganga di dahan
sasterawanku menumpulkan pena
mempersetankan naluri diri
memadamkan rintihan jelata
kerna anugerah
lebih mahal dari maruah
merah senja kian menghitam
kita dari kelompok manusia bacul
pun kian tergamam
fauzirashid
maghrib
kpm
21.4.2000
Langgan:
Catat Ulasan (Atom)
Belum bertajuk
Di sangkak tradisi Dieramnya generasi buat menyambung legasi Menetaslah wajah-wajah baru dari kehangatan kasih
-
umpama panglima gagah perkasa dia muncul tetiba menghunus keris pusaka hidup bangsa! hidup bangsa! hidup bangsa! dewan pun bergema sahut...
-
akulah kekasih laut menghitung waktu pasang dan surut sedang helang mendepa sayap panjang mengintai belanak kecil yang degil ketagih melompa...
-
Di sangkak tradisi Dieramnya generasi buat menyambung legasi Menetaslah wajah-wajah baru dari kehangatan kasih
sasterawanku lebih gemar meraih royalti di empuk sofanya, banding turun ke jalan dengan jelata. Katanya, sudah terlalu tua untuk berjuang dengan anak muda..ha ha ha
BalasPadamlihat pak samad, sasterawan rakyat yang tidak pernah merasa tua untuk turun di demo jalanan. Ini baru dinamakan sasterawan!
Salam Faziz ar,
BalasPadamsemakin kuat binaan bait-bait puisimu, saya suka puisi yang ini ... (bukan tidak bermakna bagi puisi-puisimu yang lain !).
tk sdr zul dan wahyudi kerana sudi menghayati..
BalasPadamapakah bisa puisi kita diantologikan? hanya untuk kepuasan sendiri cuma...tk